Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Hawa sejuk pegunungan mulai terasa segar dalam setiap udara yang kuhirup. Hari ini sekolahku mengadakan acara tahunan untuk mengisi liburan sekolah yaitu Camping. Setelah menempuh perjalanan selama dua setengah jam, akhirnya rombongan kami sampai di salah satu bumi perkemahan asri di kawasan kabupaten Malang. Begitu sampai di bumi perkemahan, beberapa detik aku terbengong-bengong untuk mengagumi keindahan alamnya. Bagaimana bisa aku tak terkagum-kagum. Kini di hadapanku telah tampak bukit-bukit yang saling menyambung. Serta sebuah danau yang membelah bebukitan itu. Pada bibir danau terdampar beberapa perahu nelayan.
“Reva, ngapain kamu bengong di situ? Cepat bantu teman-temanmu mendirikan tenda! Nanti saja mengagumi keindahan alamnya. Kita di sini juga masih tiga hari lagi.” sebuah seruan dari pak Iwan menyadarkanku pada lamunanku. Aku mengerjap dan segera mengangguk. “baik pak.” Dan segera berlari menenteng ranselku yang ukurannya udah seperti kardus kulkas.
“Hei teman-teman sini aku bantu diriin tendanya.” Kataku pada Hesti, Diana, Fika dan Milly. Teman-temanku hanya tersenyum dan menyodorkan kain tendanya. Keempat anak itu akan satu tenda denganku. Tak berapa lama kemudian, tenda pun berdiri dengan kokohnya. Hmmmh, rasanya cape juga.
“Cape juga ya teman-teman.” seruku pada yang lain.
“Iya nih, ternyata diriin tenda nggak mudah.” Sahut Fika.
Waktu terus berlalu, hari mulai sore. Karena tak ada kegiatan apapun. Aku berjalan-jalan untuk sejenak mengagumi keindahan alam yang hadir dalam pelupuk mataku. Benar-benar indah banget. Bukit yang hijau membentang dan sebuah danau membelah bentangan bukit itu.
“Ngapain bengong di sini?” seruan seseorang membuyarkan lamunanku. Kutengok asal suara itu. Ternyata Andre.
“Gak apa-apa, cuman mau ngelewatin pemandangan yang indah ini aja.” Jawabku asal dan kembali menerawang pemandangan yang ada di depanku.
“Emang gak pernah lihat pemandangan kayak begini? huuh, norak.”
Si Andre itu emang dari dulu selalu nyebelin, dia adalah musuh bebuyutanku di sekolah. Bagai Tom and Jerry yang selalu berantem tak jelas alasannya. Tak ingin menggubris penyataan Andre, aku pun memilih untuk diam.
Kulangkahkan kakiku dengan perlahan menuju perahu-perahu yang terdampar di bibir danau itu. Kuhirup dalam-dalam udara gunung yang begitu menyejukkan. Kurentangkan kedua tanganku, andai tangan ini adalah sayap akan kukepakkan dengan sepenuh hatiku. Karena amat sangat ingin aku terbang menyusuri tiap inchi indahnya pemandangan yang kini ada dalam hadapanku.
Tiba-tiba perahu yang aku tumpangi bergerak-gerak tak stabil. Keseimbanganku pun mulai tak stabil, hal itulah yang membangunkanku dalam detik-detik lamunanku. Kubalikkan badanku untuk melihat apa yang sedang terjadi pada perahu yang kini sedang aku tumpangi. Dan amarahku pun meledak saat aku tahu siapa dalang di balik ini semua.
“Andree!!” teriakku sekencang-kencangnya.
“Hei, biasa aja kenapa? Aku kan juga ingin lihat indahnya pemandangan di bukit itu. Aku kesini juga bayar kok.” Katanya disertai wajah yang begitu menyebalkan.
“Hei, jelek, di sana kan juga masih ada perahu-perahu yang lain, kenapa mesti milih perahu yang udah aku tumpangi siih? Dasar norak” Kataku ketus.
“Ciyeeee. Tom and Jerry sekarang udah akur nih yee, Wah kayaknya akan ada yang cinlok nih di sini. Pake acara naik perahu berduaan lagi” Teriak Hesti salah seorang temanku. Yang disusul teriakan “Ciiyeeeee,” dari teman-teman yang lain. Suaranya menyatu bagai suatu grup paduan suara yang sedang latihan festival.
Aku dan Andre saling berpandangan sejenak dan kembali melihat anak-anak yang lain.
“Aku? Jadian? Sama Dia?” Kataku dan Andre yang bersamaan, ya benar-benar bersamaan. Dan respon teman-teman yang lain kali ini semakin menjadi, bukan hanya regu koor. Tapi kelompok orkesta yang akan menggelar konser musik klasik.
Senja secara perlahan telah memudar dan berganti menjadi malam yang gelap. Tapi malam begitu indah di sini. Bintang-bintang menampakkan keindahannya. Berkelap-kelip di langit tiada lelah dan tiada henti.
“Baiklah anak-anak, sekarang ketua regu dari masing-masing tenda harap berkumpul di depan tenda Pembina.” Perintah Pak Iwan pada anak-anak melalui pengeras suara.
Aku pun mengerjap dan tersadar dari lamunanku mendengar perintah Pak Iwan. Aku pun berlari menuju depan tenda Pembina untuk mewakili teman-temanku sebagai ketua regu dalam tendaku. Setelah seluruh ketua regu berkumpul, Pak Iwan segera memulai percakapan.
“Anak-anak, setelah ini Bapak akan mengajak kalian berkeliling agar kalian dapat mengetahui tempat-tempat penting seperti pasar dan masjid. Dan setelah mengetahui, diharapkan kalian dapat menjadi penunjuk jalan bagi anggota kalian yang lain.”
Hari makin larut dan mataku pun tak dapat terpejam. Malam yang begitu indah bersama teman-teman. Aku pun memutuskan untuk keluar dari tenda dan berjalan-jalan di tepi danau. Udaranya dingin, bahkan terlalu dingin hingga terasa hingga tulangku. Rasa dingin itu berhasil kutepis dengan nikmatnya sebuah malam yang begitu indah dengan bertabur berjuta bintang dan suasana sunyi di tepi danau. Alunan ombak kecil pun melengkapi suasana indah ini.
“Kok belum tidur?” terdengar suara yang begitu kukenal membuyarkan segenap lamunanku yang telah kususun dengan rapinya.
“Emang ada pengaruhnya bagimu? Enggak kan?” Kataku dengan ketus pada orang yang telah membuyarkan lamunanku –Siapa lagi kalau bukan Si Andre?–.
“Kenapa sih, kamu selalu ketus kalau ngomong sama aku?”
“Dan kenapa sih, kamu selalu menggangguku?”
“Oh, jadi aku ganggu kamu ya? Maaf deh,” Katanya dengan mimik wajah yang tak terbaca.
Kecewa, sedih bercampur menjadi satu. Aku jadi tak tega melihatnya. Kutatap punggungnya yang semakin menjauhiku. Ada perasaan aneh yang menerpaku kini, seperti aliran air yang begitu derasnya. Entah, mendapat kekuatan dari mana aku. Hingga aku sanggup memanggilnya untuk kembali.
“Ndre, aku nggak bisa tidur. Kalau kamu juga nggak bisa tidur, kita bisa ngobrol-ngobrol menghabiskan waktu malam ini.” Kataku disertai senyum yang tersungging di ujung bibirku.
Andre pun membalikkan badannya dan tersenyum padaku. Senyumnya membuatku merasakan suatu hal yang aneh. Semacam perasaan damai dan tenang mendapatkan senyuman yang tulus darinya. “Ah, apa yang sedang aku pikirkan?” Pikirku dalam hati. Aku pun mengerjap dan melupakan pikiran aneh yang sempat mendiami otakku dalam kurun waktu beberapa detik yang lalu.
Sepanjang malam, kuhabiskan waktu untuk mengobrol dengan Andre, lucu sih. Dua orang yang selalu berantem kini duduk berdampingan di tepi danau berdua. Membicarakan sesuatu yang sebenarnya tidak penting. Dan sesekali kita saling tertawa karena cerita lucu yang sedang dibicarakan. Aku salah, ternyata Andre begitu asyik kalau diajak bicara.
Di sinilah aku melihat sosok yang lain dari Andre. Dan aku pun merasa aneh. Semacam ada perasaan aneh yang menerpaku, seperti sebuah getaran tak terdeteksi yang kini mendiami ruang dalam hatiku.
“Aduuh! Apa sih yang sedang aku pikirkan?” Aku pun mengerjap untuk kembali pada dunia nyata dan melupakan dunia khayalku yang baru saja merasuki pikiranku tanpa permisi.
Waktu menunjukkan pukul tiga pagi dan aku pun masih dengan cerianya melalui malam bersama Andre.
“Emmh, aku laper. Ayo kita ke pasar. Kamu mau nggak nemenin? Soalnya waktu Pak Iwan nunjukin jalan kemarin aku nggak ikut.” Kata Andre tiba-tiba.
“Ini loh masih jam berapa? Jam tiga pagi. Siapa yang mau jualan pagi-pagi buta kayak gini?” Balasku.
“Eh non, yang namanya pasar itu bukanya 24 jam. Di kota kita aja jam berapa pun yang namanya pasar pasti selalu ramai.” Katanya nggak mau kalah.
Tak ingin berdebat lagi, aku pun mengiyakan
“Oke deh, tapi aku panggil temenku dulu sapa tahu mau ikut juga.” Kataku dan aku pun membalikkan badan menuju tenda.
“Hei.. teman-teman, ada yang mau ikut aku jalan-jalan ke pasar?”
“Aku aja yang ikut Rev.” Kata salah seorang temanku Hesty. Oke deh, sekarang kita kumpul di pinggir danau untuk nunggu anak cowok dulu ya.” Hesty pun menjawab dengan sekali anggukan yang mantap dan sangat antusias.
Setelah nunggu beberapa menit, akhirnya pasukan cowok yang terdiri dari Andre, Raga, Angga dan Aldi. Dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat berenam. Temanku Raga dan Aldi membawa lampu senter untuk berjaga-jaga. Kami berenam pun mulai menyusuri gelapnya langit yang memang masih pagi buta. Memasuki area perkampungan yang memang dekat dengan lokasi perkemahan kami. Tak lama kemudian, kami menghadapi sebuah jalan bercabang.
“kita harus belok ke sini teman-teman.” Kataku antusias dan sangat yakin.
“Yakiiin?” Andre meyakinkanku.
“Yap,” Kataku sambil mengangguk mantap dan penuh antusias dan menunjuk satu sisi jalan yang bercabang.
Akhirnya rombongan kami pun berjalan menyusuri gang kecil tersebut. Sementara Raga dan Aldi masih bersibuk ria dengan lampu senternya yang bertugas untuk menyinari perjalanan kita.
Setelah kira-kira berjalan sejauh satu kilometer, tiba-tiba lampu senter yang dibawa Raga merujuk pada suatu benda yang ada di depan kita. Dan Raga segera mendekat untuk melihat benda apa itu. Tak lama kemudian terdengar suara gonggongan anjing. Sontak seluruh tim ekspedisi kami berhamburan menyelamatkan diri. Ternyata yang kita anggap benda tadi adalah seekor anjing.
Di sini jelas akulah yang paling panik. Karena posisinya aku berada pada paling belakang. Sebuah alasan klasik, “Aku tak kuat berlari”. Andre yang sedari tadi udah lari duluan dan berada paling depan, tiba-tiba memutar balik, aku tak tahu apa yang akan dilakukannya. Karena pada posisi seperti ini, aku pun panik sejadi-jadinya.
Saat Andre berada tepat di depanku, dia pun membalikkan badanya dengan segera dan mengulurkan tangannya untuk meraih tanganku. Sempet “Speechless” juga, ternyata repot-repot dia balik hanya untuk membantuku kabur dari anjing.
Karena saking paniknya, kita berbelok ke sebuah gang yang kita sendiri juga nggak tahu menuju ke arah mana. Setelah anjing nggak ngejar lagi, masih dengan napas yang terengah-engah, kami mencoba untuk menenangkan diri.
“Tunggu, kita ini di mana??” Tanyaku yang sudah agak tenang.
“Aku juga nggak tahu, aku nggak tahu arah ke mana ini.” Sahut Aldi.
“Bagus, kita tersesat sekarang.” Kataku dengan nada yang dingin, begitu dingin hingga mampu membekukan air menjadi salju.
Dan, di depan kita sekarang, tidur seekor anjing dengan pulasnya, keringat mulai mengucur dengan derasnya. Kaki tak kuat tuk melangkah.
“Tenang, kita jalan pelan-pelan dan mengendap-endap. Jangan sampai ada yang berlari.” Kata Andre tiba-tiba memberikan solusi.
Kami berenam mulai berjalan mengendap-endap. Berharap bahwa anjing yang kita hadapi sekarang ini tuli, atau setidaknya sedang bermimpi indah agar ia tidak mau bangun.
Tepat saat kita berjalan di sampingnya, tiba-tiba “Guuk, Guuuk, Guuuk” GUBRAKK!!
Anjingnya bangun dan kini sedang mengejar kita berenam. Kami berputar arah dan kembali ke jalan yang kita lewati tadi.
Sementara anjingnya tiada henti mengejar kita. Sampai akhirnya kita bersembunyi di balik semak-semak. Sementara Andre masih terus memantau keadaan apakah aman untuk kita keluar atau tidak dan yang lain masih mengatur naPasnya yang udah kayak habis lomba maraton.
“Aman teman-teman. Ayo kita keluar dan kembali aja ke lokasi perkemahan.” Kata Andre tiba-tiba.
Akhirnya semua setuju untuk kembali ke area perkemahan. Kami berjalan dengan keheningan. Masih terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedikit masih tidak percaya dengan apa yang menimpaku.
“Hei, mau ke mana kalian?” Terdengar suara teman lain yang mungkin sedang berjalan-jalan menikmati malam. Rafi, Viga, Willy dan Romi.
“Sebenernya sih mau ke pasar, tapi barusan mendapat musibah jadi balik lagi deh.” Jawab Aldi.
“Kita juga mau ke pasar. Kenapa kita nggak barengan aja? Yuuk” Ajak Willy.
Kami berenam saling pandang, mengisyaratkan apakah kita harus menyetujui tawaran tersebut. “Gimana? Masih pengen ke pasar?” Tanya Andre membuka kebisuan di antara kita. Dan kita berlima pun menjawabnya dengan anggukkan yang agak terpaksa.
Jarak antara pasar dengan area perkemahan kami kira-kira dua kilometer. Dan akhirnya setelah berjalan cukup jauh, akhirnya kita pun sampai di pasar. Dan coba tebak apa yang terjadi, yap, ternyata pasarnya masih sangat sepi dan tempat orang-orang berjualan pun masih tertutup rapat.
Kita bersepuluh hanya biSA memandang lemas, apa yang telah kita lalui hari ini. Tapi tak cukup berakhir sampai di situ. “Ya udah deh teman-teman, lebih baik kita balik saja ke area perkemahan.” Kata Hesty dengan nada yang begitu lemah.
Belum sempat kami membalikkan badan, tiba-tiba ada seorang laki-laki berjaket kulit warna hitam polos dengan potongan rambut cepak menghampiri kita. “Siapa kalian? Dan mau kemana kalian ini?” Tanyanya dengan tampang yang sangat garang.
“Kami peserta camping di bumi perkemahan dekat sini pak dan kami ke sini mau ke pasar. Tapi kelihatannya masih tutup pak.” Jawabku dengan nada yang takut-takut.
“Oh iya, baru saja ada pembobolan di sebuah sekolah dasar di dekat sini. Kata salah seorang saksi, pelakunya berkelompok. Dan kalian tahu saya ini siapa? Lihat ini.” Katanya dengan membuka jaket kulitnya untuk menunjukkan baju yang dikenakannya, yang bertuliskan “POLISI”.
“Lalu kenapa kalian ini bergerombol. Apakah kalian tahu tentang kejadian pembobolan itu?” tanyanya dengan nada yang sangat mencurigai kita. Dan aku nggak suka dengan tatapan matanya yang penuh curiga itu.
Tak dapat dipungkiri, perasaan cemas, takut, khawatir beradu dalam hatiku. Jantungku berdetak sangat kencang, keringat dingin mulai meresap keluar melalui pori-pori kulitku. Adrenalinku, mulai berpacu dalam tiap detak jantungku.
Andre menyela dan akan membuka mulutnya untuk berbicara. Ya, aku tahu pasti apa yang akan keluar dari mulutnya yang terbuka setengah itu, ia akan berusaha untuk mengeluarkan kata-kata pembelaan. Masih juga setengah dari mulut Andre yang terbuka.
“Ada apa ini?” Tiba-tiba dua orang lelaki datang menghampiri kami. Seorang berpostur tubu kecil usianya sekitar 30 tahun. Dan yang satu lagi berusia lebih tua kira-kira 45 tahunan dan berpostur tubuh besar dan tinggi.
Laki-laki dengan tatapan menuduh kami langsung menjelaskan seolah kita adalah tersangka pembobolan yang dimaksud.
“Ya sudah kamu balik sana ke tempatmu. Biar anak-anak ini aku yang urus.” Kata bapak yang bertubuh besar itu.
“Nggak bisa seperti itu. Pelaku kajahatan haruslah mendapat ganjaran yang setimpal. Apalagi mereka masih sangat muda, mau jadi apa mereka kelak?” Orang yang menuduh kami tetap keukeuh bahwa kamilah pelakunya.
Keadaan seperti ini membuatku semakin takut. Keringat dingin semakin bercucuran dengan derasnya. Kami dituduh akan sesuatu yang bahkan kami nggak tahu, di daerah yang bahkan kami nggak kenal.
“Iya, biar aku yang urus semua ini. Ayo anak-anak ikut bapak.”
Akhirnya kami beserta dua bapak tadi pergi meninggalkan lelaki yang sedari tadi menuduh kami.
“Bagaimana anak-anak liburan kalian di bumi perkemahan? Apakah menyenangkan?” Tanya bapak yang berpostur tubuh besar tadi memecah keheningan.
“Iya pak, lumayan menyenangkan.” Jawabku dengan nada yang takut.
“Emmh, pak, yang melakukan pembobolan itu, kami sungguh tidak tahu menahu pak sungguh.” Kataku meyakinkan bapak itu.
“Saya kepala desa di sini. Ya, kalau masalah itu biSa kalian jelaskan nanti di rumah saya.” Terangnya.
Perasaan cemas, khawatir, takut semakin bergelayut dalam tiap ichi ruang di hatiku.
Adrenalinku pun terus berpacu. Kesalahan apa yang sudah aku perbuat? Hingga hukumannya sekejam ini.
“Nah kita sudah sampai di rumah saya anak-anak. Mari masuk.” Kata bapak itu dengan ramahnya.
Dengan perasaan takut kami memasuki selangkah demi selangkah rumah pak kepala desa itu yang lumayan cukup besar dan ada taman mungil tepat di depan teras rumahnya. Kelihatan hijau dan begitu asri.
“Silahkan duduk anak-anak.” Kata bapak itu dengan nada yang begitu ramah.
“Jon, tolong buatin teh hangat buat anak-anak yang malang ini.” Lanjutnya pada bapak yang berpostur tubuh kecil.
“Pak, tapi benar-benar bukan kita pelakunya pak. Harus dengan penjelasan apa lagi agar bapak percaya bahwa kami tidak tau apa-apa soal ini?” Kataku dengan tangis yang hampIr saja meledak.
Bapak itu tersenyum kecil.
“Bapak percaya dengan apa yang kalian jelaskan. Dan bapak tahu kalian adalah anak-anak yang baik. Tentang perkataan orang yang kalian temui tadi, jangan hiraukan. Sebenarnya orang tadi punya sedikit gangguan mental.” Lanjutnya dengan tawa yang tertahan.
“Jadiii.. Orang tadi agak gila?!”
GUUBBRRAKK!!
Cerpen Karangan: Laila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar